Melalui Program Bioskop Reguler Metropolis, Sindikat Sinema yang berbasis di kota Samarinda mencoba untuk membuka ruang pertukaran dialog tentang budaya sinema dengan berbagi pengetahuan yang bertolak dari film. Dalam hal ini, bagi Sindikat Sinema, sinema menjadi jendela pengetahuan tentang kota dan warganya beserta semesta permasalahannya dan turut berbagi kegelisahan dengannya.
Sebagai bagian dari warga kota Samarinda, teman-teman Sindikat Sinema turut merasakan keresahan terhadap kotanya yang dihadapkan pada laju pertumbuhan urban yang demikian pesat namun sialnya diperoleh dari ekonomi ekstraktif berupa pertambangan batubara. Hampir 70 persen wilayah kota Samarinda dijepit dan dikelilingi lanskap pertambangan batubara. Di semua arah dari pusat kota, bukit-bukit diiris dan dipotong (Sabarini dan Sulaiman, 2013). Belum lagi hilir-mudik kapal tongkang batubara yang melintasi Sungai Mahakam, membuat masalah polusi air dan debu batubara bagi warga (Fogarty, 2014).
Selain itu, dampak dari aktivitas penambangan batubara juga berkontribusi besar pada peningkatan intensitas banjir. Alhasil, membuat kota Samarinda dijuluki sebagai Kota Banjir. Penyebab utama banjir adalah akibat dari penggundulan hutan dan erosi tanah oleh aktivitas penebangan kayu dan penggalian tambang batubara. Dalam catatan Maimunah dan Agustiorini (2020), “dari November 2008 hingga Juni 2020, banjir telah menggenangi hampir setiap sudut kota, menutupi jalan utama, dan mengganggu kegiatan ekonomi, termasuk transportasi umum dan pasar. Sekitar 50.000 orang telah terkena dampak 5-6 banjir besar setiap tahun.” Kerugian masyarakat lainnya yang tak kalah buruknya adalah peningkatan sedimentasi sungai yang membuat nelayan mengalami kesulitan dalam menangkap ikan. Bahkan seringkali terjadi kematian massal ikan-ikan di sungai. Demikian juga, kapal-kapal tongkang batubara yang sering menabrak kolam-kolam budidaya ikan nelayan di Sungai Mahakam (Maimunah dan Agustiorini, 2020).
Apa yang digembar-gemborkan dengan ilusi laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Timur oleh pejabatnya ternyata tidak sebanding dengan dampak kerusakan ekologi yang ditimbulkannya. Belum lagi penyingkiran masyarakat setempat yang memicu krisis dan konflik sosial maupun ekonomi. Singkatnya, mayoritas masyarakat Kota Samarinda hanya memperoleh sedikit manfaat dari adanya ekonomi pertambangan. Bahkan dalam beberapa kasus ditemukan praktik penambangan yang memblokade sumber penghidupan masyarakat dari sektor pertanian seperti yang terjadi di desa Makroman, kota Samarinda. Perusahaan pertambangan melakukan aktivitas penambangan dengan mengelilingi desa dan lahan pertanian di dua sisi sehingga membuat warga di desa tersebut mengalami gangguan pasokan air untuk irigasi sawah. Celakanya, pihak perusahaan menawarkan sejumlah besar uang kepada pemilik lahan. Sebagian warga ada yang melepaskan lahannya, sebagian lainnya tidak (Fogarty, 20114). Tentunya apa yang dilakukan perusahaan adalah praktik kotor dan manipulatif kepada warga desa yang telah mereka kepung dengan aktivitas penambangan batubara dan merasa lahan pertanian mereka tidak subur lagi, perusahaan datang menawarkan iming-iming.
Krisis yang berlangsung di kota Samarinda mengingatkan saya pada proyek riset Macarena Gómez-Barris yang menangkap persoalan kegentingan masyarakat yang berusaha untuk bertahan dari zona kapitalisme ekstraktif. Melalui proyek risetnya bertajuk The Extracive Zone: Social Ecologies and Decolonial, yang kemudian dibukukan, Gómez-Barris (2017) mendokumentasikan sebuah geografi lingkungan di mana bentuk-bentuk kekuatan kapitalis yang terkoordinasi dengan maju, sambil menganalisis berbagai kompleksitas ekologi sosial dan alternatif material yang coba digagas dan disebarkan oleh para seniman, aktivis-aktivis gerakan, pelaku budaya, dan kaum intelektual.
Istilah zona ekstraktif dipakai untuk merujuk pada tahap perkembangannya yang mutakhir berupa bentuk-bentuk baru ekstraktivisme dari kemunculan kapitalisme kolonial di abad keenam belas hingga saat ini, termasuk bagaimana beroperasinya proses privatisasi dan deregulasi neoliberal selama empat puluh tahun terakhir yang semakin meminggirkan dan mereduksi kehidupan lalu mengkonversinya ke sumberdaya kapitalis, tak terkecuali apa yang menimpa warga kota Samarinda. Gómez-Barris membuka berbagai kemungkinan dari sejarah penaklukan dan perlawanan sambil memeriksa potensi dekolonisasi di dalam kondisi kekerasan dari bekerjanya kapitalisme ekstraktivisme (Gómez-Barris, 2017).
Setidaknya, respons dan keteribatan para seniman, pembuat film, pelaku budaya, aktivis-aktivis dan kaum intelektual yang telah didokumentasikan dengan sangat idiosinkratis oleh Gómez-Barris di proyek Extracive Zone-nya saya rasa juga hampir sama dilakukan oleh berbagai bentuk inisiatif maupun perlawanan dari sejawatnya di belahan dunia yang lain. Teman-teman Sindikat Sinema di Samarinda adalah salah satu contohnya. Melalui praktik kebudayaan yang mereka kerjakan, Sindikat Sinema berbagai keresahan atas kota dan warganya yang dikepung zona ekstraktif. Tentunya program pemutaran film dengan tajuk Urban, Tradisi dan Lingkungan adalah usaha mendistribusikan pengetahuan sinema agar dapat berbagi keresahan dan kesadaran yang terus dirawat.
Di program pemutaran bioskop reguler ini, saya mengawalinya dengan menampilkan 5 film yang setidaknya bisa menggambarkan tema tentang Urban, Tradisi dan Lingkungan yang diangkat. Film-film yang coba saya tampilkan ini menggambarkan karakter tokoh-tokohnya dalam laju kehidupan modern kota sebagaimana halnya perkembangan kapitalisme yang terjadi baik di Samarinda maupun belahan dunia lainnya. Ada yang terenggut dan tercerabut dari dunia kehidupan modern di kota terutama berbagai tradisi, pengetahuan-pengetahuan vernakular dan bentangan alam yang membuat manusia hidup di dalamnya harus bertahan dan beradaptasi dengan begitu cepatnya atas perubahan ruang geografis yang kita tempati dan diami ini.
Dalam hal ini, kerangka periksa untuk membacanya dapat dicoba melalui kerangka hauntologi. Mengikuti Jossh Lown (2025), kerangka hauntologi menawarkan pemahaman ‘lebih dari sekadar material’ tentang apa yang disebut ‘masa depan yang hilang’ oleh perubahan material seperti tata kota, pembangunan, dan perubahan demografi atau lainnya. Lown memeriksa hauntologi dari kasus gentrifikasi perkotaan yang menjelaskan bagaimana penduduk sering kali dihantui oleh rasa kehilangan individu dan komunal atas rasa tempat dan masa depan komunitas mereka. Kerangka hauntologi dipinjam dari filsafat ontologis Jacques Derrida tentang cara memahami masa kini sebagai intrusi masa lalu yang mengisyaratkan potensi masa depan (Davis, 2005; Derrida, 1994 [2006] dalam Lown, 2025).
Kerangka hauntologi dibedakan dengan nostalgia yang melihat ke masa lalu sementara hauntologi menunjukkan keadaan ‘masa depan yang hilang’ dan kita dihantui terus-menerus dengan rasa kehilangan dan keterputusan dengan suatu ikatan entah itu individu, komunal ataupun tempat (lanskap geografis tertentu) yang pada akhirnya membuat sebagian orang menjadi nomaden, migran, terusir, terombang-ambing, tunawisma dan menjadi pengungsi.
Adapun 5 film yang akan diputar: Borrom Sarret (Ousmane Sembene, 1963), Manila in the Claws Light (Lino Brocka, 1975), Stray Dogs (Tsai Ming-liang, 2013), Still Life (Jia Zhangke, 2006), dan Pictures of Ghosts (Kleber Mendonça Filho, 2023) setidaknya dapat menelusuri jejak ruang hauntologi urban dengan memahami dampak yang dirasakan tatkala hilangnya apa yang mengikat dan melekat dan digantikan dengan perubahan lanskap perkotaan dan pertarungan atas ruang (contested spaces) itu sendiri.
Borom Sarret adalah film feature pertama Ousmane Sembene—yang kemudian diikuti oleh film-film ia berikutnya—yang mengeksplorasi kota Dakar, ibukota Senegal, untuk merenungkan bagaimana pemahaman kita tentang kota. Borom Sarret berfokus pada kehidupan sosial penduduk kota Dakar yang menghadapi kondisi negara Senegal pascakolonial melalui tokoh utamanya seorang kusir penarik cikar. Di film ini tergambarkan bagaimana benturan antara kehidupan tradisional orang Senegal dengan aspirasi kemajuan kota yang dituntut serba modern.
Aspirasi kehidupan kota modern ini ternyata untuk sebagian besar masyarakatnya malah semakin meminggirkan mereka karena ketimpangan kelas dari kolonialsime Prancis justru kian mengeras sejak Senegal merdeka dan kota Dakar bercita-cita menampilkan citra sebagai kota modern. Aspirasi kemodernan kota Dakar ini tak ayal mendistorsi relasi sosial antara orang-orang kaya yang diwakili kulit putih Prancis dengan orang-orang kulit hitam Senegal yang miskin. Tokoh utama film, si penarik cikar, hidup tersesat dan kebingungan di tengah-tengah formasi sosial masyarakat yang benar-benar baru – masyarakat modern yang muncul di dunia pascakolonial Afrika (Dahlberg, 2013). Satu-satunya yang menjadi pengikat dan penguat jiwa bagi si kusir penarik cikar adalah nilai-nilai tradisionalnya yang berbasis religiusitas dari pandangan dunia orang Senegal lama. Pandangan dunia tradisional ini bertumpu pada gagasan spiritualitas agama Islam beserta relasi guru agama atau seorang sufi (meskipun ada yang sudah wafat) yang di masyarakat Senegal disebut marabout sebagai penjamin rasa aman dari goncangan hidup dan residu modernitas bagi si tokoh utama film, seorang kusir penarik cikar.
Tanggal penayangan
Samarinda:
Balikpapan:
Manila in the Claws Light adalah film karya Lino Brocka yang memeriksa problem kemiskinan, eksploitasi ekonomi, ketimpangan sistemik dan korupsi moral akut di kota Manila di era awal kediktatoran Ferdinand Marcos, sejak ia memberlakukan Darurat Militer tahun 1972. Di film ini, Brocka membenamkan penonton dalam dunia bawah tanah Manila yang kumuh dan lacur. Tokoh utamanya, Julio dan Hilda digambarkan sebagai perlambang orang-orang miskin yang bagaimanapun harus bertahan hidup di kerasnya kehidupan kota Manila. Tanpa tedeng aling-aling, Brocka benar-benar menyajikan gambaran realis Manila yang apa adanya, mentah, tanpa filter sama sekali, dan kotor untuk menunjukkan lapisan-lapisan kota dengan gamblang dan jujur.
Manila in the Claws Light dibuat Brocka bertujuan menantang dan menggagalkan proyek rezim Marcos yang sedang gencar membangun citra negara modern, dan Manila sebagai latar depan citra itu. Manila in the Claws Light adalah potret yang menyoroti alegori untuk seluruh dunia yang terbelakang (Malcolm, 2001) dan mengupas detail tekstur kehidupan kaum miskin kota di daerah kumuh yang berjuang bertahan hidup setiap harinya dan menyajikan pengalaman langsung dari lingkungan fisik kota (Gutierrez III, 2016).
Kaum miskin kota ini adalah orang-orang yang bermigrasi dari pedesaan ke kota Manila. Mereka merupakan sepertiga dari populasi Metro Manila dan membentuk tenaga kerja murah yang mendiami kantong-kantong kumuh dan permukiman liar kota (Gutierrez III, 2017). Di Manila in the Claws Light, Brocka menggambarkan kaum pauper perkotaan ini dengan amat kejam dan keji tanpa ampun sekalipun.
Tanggal penayangan
Samarinda:
Balikpapan:
Di balik kemegahan dan keteraturan tata kota di metropolitan Taipei, Ibukota Taiwan, Tsai Ming-liang menunjukan kepada penonton bagian-bagian bangunan kumuh, dan ruang-ruang yang terbaikan dan terbengkalai. Matt McCracken (2020) menyebut bahwa Stray Dogs adalah karya kartografi lingkungan perkotaan dan penolakan puitis kepada wajah-wajah manusia yang ditemukan di daerah-daerah yang terlupakan dan kondisi hidup mereka yang nestapa. Di sini Ming-liang menampilkan kesibukan sehari-hari kelas bawah Taiwan layaknya kawanan anjing liar yang berkeliaran, mengais-ngais sisa makanan, dan diabaikan oleh semua orang. Tokoh utama film ini seorang pria melarat dan tunawisma dengan dua anaknya yang bekerja sebagai pajangan papan reklame berjalan yang mempromosikan properti real estate.
Namun demikian, di Stray Dogs, seperti leitmotif sinema Ming-liang lainnya selalu menggambarkan berbagai motif representasi kota di mana terjadinya pertemuan-pertemuan secara kebetulan, tak terduga, anonimitas dan gambar-gambar yang luar biasa untuk menawarkan sebuah poliffoni gambar kota (Lo, 2013). Di Stray Dogs, Ming-liang menghadirkan berbagai mise-en-scène lanskap perkotaan yang sendu, mendung dan sering kali basah kuyup untuk menarik hubungan emosional yang kuat antara lanskap dan penghuninya (Luers, 2013).
Penggambaran di Stray Dogs, bagaimanapun, merupakan landasan sosial sinema Tsai yang lebih kuat dari sebelumnya yang dibuktikan dari fokus film yang tak tergoyahkan pada kemiskinan urban, keterasingan, ketercerabutan, melankolia, daya tahan, dan ketabahan dari tokoh-tokohnya (de Luca, 2018; Louis Lo, 2022).
Tanggal penayangan
Samarinda:
Balikpapan:
Still Life berlatar di reruntuhan kota Fengjie yang berada di tepian Sungai Yangtze. Kota kecil ini terdampak pembangunan proyek Bendungan Tiga Ngarai (Three Gorges Dam) yang membuat penduduknya mengungsi. Tokoh utama film, Han Sanming, berjalan dengan mobilitasnya datang ke reruntuhan kota Fengjie mencari istri dan anaknya setelah enam belas tahun terpisah. Sementara, Shen Hong – seorang perawat, melakukan hal yang sama datang ke Fengjie untuk mencari suaminya. Kedua tokoh utama film ini digambarkan sebagai seorang pejalan kaki yang menyaksikan perubahan lanskap dan topografi Fengjie melalui pencarian paralel mereka untuk menemukan ‘rumah’ yang hilang. Mobilitas mereka acak dan nonlinear, sehingga menciptakan topologia yang berantakan dan penuh dengan ketidakpastian bahkan menjebak dan emosional. Tentunya pemetaan kartografi mental ini berkebalikan dengan lanskap resmi yang menampilkan citra kemajuan pembangunan kota, modernisasi dan perubahan skala besar yang dicita-citakan negara pasca sosialis Tiongkok (Chan Du, 2022).
Jia Zhangke, melalui Stil Life, berupaya mengurai implikasi dari pembangunan ekonomi yang pesat dan dampak manusia terhadap degradasi lingkungan. Dengan Still Life, proyek sinema Jia Zhangke ingin mengungkap teks dasar kehancuran dari reruntuhan kota yang terbaikan di balik pembangunan konstruksi bendungan, kerugian di balik kemajuan dan sisa-sisa entropi masa depan dari perencanaan instrumental pembangunan sambil membangkitkan mode mobilitas lambat yang konstan dari tokoh-tokohnya untuk menginterupsi mobilitas linear yang cepat.
Pada hematnya, Still Life adalah satu dari korpus film-film Jia tentang gagasan representasi perubahan topografi dengan mendobrak batas-batas film naratif dan dokumenter sehingga mampu menarasikan materialitas perubahan topografi dengan usaha pencarian agensi emosional di tengah perubahan ekonomi dan ekologi Tiongkok (Chan Du, 2022; Eric Dale, 2011).
Tanggal penayangan
Samarinda:
Balikpapan:
Kleber Mendonça Filho memperluas pencariannya terhadap ‘hantu’ di kota kelahirannya, Recife, Timur Laut Brazil. Ia menelusuri perubahan historis dengan presisi geografis di kota Recife dan membawa kita kepada bentuk-bentuk baru pengalaman aristektural dan praktik spasial yang berisi refleksi tentang nostalgia, waktu, tempat, dan memori. Lacurnya, pengalaman arsitektural yang dibagi Filho mengandung sebuah subteks yang mensublimasikan rasa takut dan kekerasan spasial (spatial violence). Namun demikian, Pictures of Ghosts menjadi ode sinematik dari ruang perkotaan yang berubah dengan nada simpatik dan spektral.
Film ini adalah rute psikogeografi yang membawa kita pada lanskap perkotaan yang berubah dari perspektif lensa kamera Kleber Mendonça Filho untuk menunjukkan transformasi besar di satu sisi, dan rasa kehilangan di sisi lain terhadap kota akibat modernisasi. Dengan demikian, Pictures of Ghosts meninggalkan jejak-jejak yang samar dan menghantui bagi siapa saja yang memiliki pengalaman dan memori akan tempat (sense of place) yang tidak bisa dikembalikan lagi dan tidak bisa dipulihkan akibat rongrongan kemajuan pembangunan kota.
Film ini beroperasi pada kerangka hauntologi urban untuk menjelajahi ruang-ruang perkotaan yang pernah hadir di masa lalu dan meninggalkan jejaknya di masa kini sambil menghantui hingga di masa depan.
Tanggal penayangan
Samarinda:
Balikpapan:
Referensi
Prodita Sabarini dan Nurni Sulaiman. “Escaping the ‘resource curse’: E. Kalimantan at the tipping point”. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/news/2013/01/17/escaping-resource-curse-e-kalimantan-tipping-point.html , Diakses Kamis, 10 April 2025.
David Fogarty (2014). “Indonesia tries to clamp down on coal sector’s worst excesses”. https://news.mongabay.com/2014/10/indonesia-tries-to-clamp-down-on-coal-sectors-worst-excesses/, Diakses Kamis, 10 April 2025
Siti Maimunah & Sarah Agustiorini (2020). “The Story of Mahakam River in Indonesia: From the commons to extractivism and back”. https://www.globalwaterforum.org/2020/10/23/the-story-of-mahakam-river-in-indonesia-from-the-commons-to-extractivism-and-back/, Diakses Kamis, 10 April 2025.
Sucipto (2023). “The IKN Opportunity and Dream of Downstream Industries”. https://www.kompas.id/baca/english/2023/01/09/the-ikn-opportunity-and-dream-of-downstream-industries?loc=hard_paywall, Diakses Kamis, 10 April 2025.
Anna Fünfgeld (2016). The state of coal mining in East Kalimantan: Towards a political ecology of local stateness. ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 9(1), 147-162.
Andrea Dahlberg (2003).” Film as a Catalyst for Social Change: Ousmane Sembene’s Borom Sarret”. https://brightlightsfilm.com/film-as-a-catalyst-for-social-change-ousmane-sembenes-borom-sarret/, Diakses Selasa, 08 April 2025
Andrea Dahlberg (2003). “On the Fortieth Anniversary of Borom Sarret, on Ousmane Sembene’s 1963 Film” https://www.euppublishing.com/doi/10.3366/film.2003.0013 , Diakses Selasa, 08 April 2025
David Murphy (2002). “An African Brecht:: The Cinema of Ousmane Sembene”. New Left Review, 16 July-August 2002.
Macarena Gómez-Barris. The Extracive Zone: Social Ecologies and Decolonial. Durham and London: Duke University Press, 2017.
Phil Hoad (2023). “Pictures of Ghosts review – Brazilian auteur haunted by his home town’s decline”. https://www.theguardian.com/film/2023/nov/28/pictures-of-ghosts-review-director-haunted-by-his-hometowns-decline-kleber-mendonca-filho , diakses Selasa, 08 April 2025
Andy Crump (2024). “Pictures of Ghosts Paints a Rich Portrait of a Brazilian City”. https://www.pastemagazine.com/movies/kleber-mendonca-filho/pictures-of-ghosts-movie-review , diakses Selasa, 08 April 2025
Mariana Cunha & Antonio Márcio da Silva (2019). “Reel life: Brazilian realities reflected in cinema”. https://www.architectural-review.com/essays/reel-life-brazilian-realities-reflected-in-cinema , diakses Selasa, 08 April 2025
Matthew Carey (2023). “Mapping A City Through Its Faded Cinemas: Director Kleber Mendonça Filho On His Oscar Contender ‘Pictures Of Ghosts’”. https://deadline.com/2023/12/pictures-of-ghosts-retratos-fantasmas-director-keleber-mendonca-filho-interview-1235671354/ , diakses Selasa, 08 April 2025
Andy Cumming (2023). “‘Pictures of Ghosts’: Kleber Mendonça Filho‘s Ode To Cinema”. https://soundsandcolours.com/articles/brazil/pictures-of-ghosts-kleber-mendonca-filhos-ode-to-cinema-75011/ , diakses Selasa, 08 April 2025
Elsa Keslassy (2023). “Urban Sales Boards Kleber Mendonça Filho’s Cannes’ Special Screening Film ‘Pictures of Ghosts’”. https://variety.com/2023/film/global/urban-kleber-mendonca-filhos-cannes-pictures-of-ghosts-1235596338/ , diakses Selasa, 08 April 2025
Yiju Huang (2022).” Loss and Absence in Still Life”. https://www.sensesofcinema.com/2022/feature-articles/loss-and-absence-in-still-life/ , diakses Senin, 14 April 2025
Chan Du, “Poetics of Still Lives: Rewalking the Ruinscape of Still Life (English version)”, Transtext(e)s Transcultures 跨文本跨文化 [Online], 17 | 2022, Online since 30 December 2022, connection on 10 October 2023. URL: http://journals.openedition.org/transtexts/2145; DOI: https://doi.org/10.4000/ , diakses diakses Selasa, 08 April 2025
Jossh Lown (2025). “Spectres of gentrification: Towards a hauntological framework for exploring the impacts of gentrification”. Urban Studies Journal, 1–16. https://doi.org/10.1177/00420980241306087, diakses Senin, 14 April 2025
Eric Dalle (2011). “Narrating changes in topography: Still Life and the cinema of Jia Zhangke”. https://www.ejumpcut.org/archive/jc53.2011/dalleStillLife/index.html , diakses Rabu, 09 April 2025
Matt McCracken (2020). “Stray Dogs | Tsai Ming-liang”. https://inreviewonline.com/2020/06/15/stray-dogs/ , diakses Selasa, 08 April 2025
Erik Luers (2013). “NYFF51 Spotlight: Raining Cats and “Stray Dogs””. https://www.filmlinc.org/daily/nyff-spotlight-stray-dogs-tsai-ming-liang/ , diakses Selasa, 08 April 2025
Tiago de Luca (2018). “Stray Dogs: Watching Cinema Disappear”. https://taiwaninsight.org/2018/10/26/stray-dogs-watching-cinema-disappear/ , diakses Selasa, 08 April 2025
Jonathan Romney (2014). “Film of the Week: Stray Dogs”. https://www.filmcomment.com/blog/film-of-the-week-stray-dogs/ , diakses Selasa, 08 April 2025
Louis Lo (2022). “Tsai Ming-liang’s Cinematic Cities: The River (1997) and Stray Dogs (2013). In: Tambling, J. (eds) The Palgrave Encyclopedia of Urban Literary Studies. Palgrave Macmillan, Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-319-62419-8_339
Derek Malcolm (2001). “Lino Brocka: Manila – In the Claws of Darkness”. https://www.theguardian.com/film/2001/jan/11/derekmalcolmscenturyoffilm , diakses Selasa, 08 April 2025
Timan Zheng (2020). “Poverty as Exploitation: Manila in the Claws of Light”. https://cineccentric.com/2020/07/03/poverty-as-exploitation-manila-in-the-claws-of-light/, retrieved Tuesday, 08 April 2025
Jose Gutierrez III (2017). “The Realist Cinema of Lino Brocka”. Plaridel • Vol. 14 No. 2 • July – December 2017, 169-178.
Jose Gutierrez III (2016).” Lukács, Kracauer, and Lino Brocka’s Manila in the Claws of Light (1975)”. Plaridel • Vol. 13 No. 2 • July – December 2016
Mick Gaw (2022). “Off the Radar: ‘Manila in the Claws of Light’ dissects a city under the pressure of tyranny”. https://nyunews.com/arts/film/2022/12/2/off-the-radar-manila-in-the-claws-of-light/ , diakses Rabu, 09 April 2025